KATA PENGANTAR
puji
syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya
yang begitu berlimpah kepada penyaji sehinggah Makalah ini dapat terselesaikan
tepat pada waktunya dengan judul POLIGAMI. Makalah ini dapat memberikan
informasi serta wawasan lebih kepada kita semua tentang Poligami serta sikap
memandang poligami yang terkadang cenderung dianggap negatif. Kami menyadari
bahwa Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan
saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi
kesempurnaan Makalah ini dan Makalah selanjutnya.
Akhir
kata, saya menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan
serta dalam penyusunan Makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT
senantiasa meridhahi segala usaha kami. Amin.
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Poligami merupakan suatu tindakan yang
sampai saat ini menjadi pro kontrak di masarakat. Masih banak pula yang
menganggap poligami adalah tindakan negatif terutama anggapan wanita. Hal ini
dikarenakan rasa kurangna keadilan terhadap pihak wanita dan hanya
menguntungkan pihak pria saja.
Di Indonesia sendiri sudah ada Undang-Undang
yang mengenai boleh tidaknya poligami dilakukan.Poligami yang dianjurkan dalam
islam sedikit berbeda dengan aturan Undang-Undang yang ada di Indonesia. Dan
poligami dalam islam adanya bukan tanpa tujuan dan alasan yang rasional,
seperti yang kita ketahui bahwa semua yang telah menjadi aturan dan hukum dalam
islam itu sudah ada alasan dan hikmah yang terkadang kita kurang menyadari dan
memahami.Di dalam masalah berpoligami sering kita saratkan yang pertama adalah
adil, tidak hanya harta yang sering disebut-sebut sebagai tolak ukur membagi
keadilan namun masih banyak utasan lain.
B. RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang
telah dijabarkan tentu dapat trlihat banyak hal yang berlu dibenahi lagi.
Sehingga dapat disimpulkan menjadi rumusan masalah yaitu :
1.
Apa
yang dimaksud poligami?
2.
Bagaimana
Undang-Undang di Indonesia mengenai poligami?
3.
Bagaimana
pandangan islam mengenai poligami?
4.
Dampak
apa saja yang akan terjadi bila suami berpoligami?
5.
Apa
saja hukum dan sayarat berpoligami?
1
C. TUJUAN
PENULISAN
1.
Untuk
mengetahui apa itu poligami.
2.
Untuk
mengetahui mengapa islam membolehkan poligami.
3.
Untuk
mengetahui apa hikma poligami.
4.
Untuk
mengetahui dampak-dampak poligami lebih spesifik.
5.
Untuk
mengetahui bagaimana wanita menyikapi masalah poligami.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
POLIGAMI
Kata poligami berasal dari bahasa
yunani, poly atau polus yang berarti kawin atau perkawinan. Jadi secara bahasa,
poligami berarti perkawinan yang banyak atau suatu perkawinan yang lebih satu orang
baik pria maupun wanita.
Dalam
antropologi sosial, poligami merupakan praktek pernikahan kepada lebih dari
satu isti atau suami. Terdapat tiga bentuk poligami, yaitu: poligini (seorang
pria memiliki beberapa orang istri); poliandri (seorang wanita memiliki
beberapa orang suami) dan Group Mariiage atau Group Family (yaitu gabungan dari
poligini dengan poliandri,misalkan dalam suatu rumah terdapat empat laki-laki
dan empat wanita, kemudian bercampur secara bergantian). Bentuk-bentuk poligami
itu ditemukan dalam sejarah manusia, namun poligini merupakan bentuk paling
umum. Poligami (dalam makna poligini)bukan
semata-mata produk syariat Islam. Jauh sebelum Islam datang, peradapan
manusia diberbagai belahan dunia telah mengenal poligami itu sendiri.
Allah
SWT memperbolehkan umatnya berpoligami sampai 4 orang istri dengan syarat dapat
berperilaku adil kepada mereka,yaitu dalam melayani istri, seperti halnya
urusan nafkah, tempat tinggal, pakaian,giliran dan segala halyang bersifat
lahiriyah. Dan apabila tidak mampu berlaku adil maka hendaklah cukup satu istri
saja (monogami). Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam surat an-nisa QS 3
ayat 3
Dan
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi: dua,tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja,
3
atau
budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya. (An-nisa :3)
B.
SYARAT BERPOLIGAMI
1.
Persyaratan dalam islam
Islam
memperbolehkan umatnya berpoligami berdasarkan nas-nas syariat serta realiti
keadaan masyarakat. Ini bererti ia tidak boleh dilakukan dengan
sewenang-wenangnya demi untuk mencapai kesejahteraan masyarakat Islam, demi
untuk menjaga ketinggian budi pekerti dan nilai kaum Muslimin. Oleh yang
demikian, apabila seorang lelaki akan berpoligami, hendaklah dia memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :
a. Membatasi jumlah isteri yang akan
dikahwininya. Syarat ini telah disebutkan oleh Allah (SWT) dengan firman-Nya;
"Maka
berkahwinlah dengan sesiapa yang kamu ber-kenan dari perempuan-perempuan
(lain): dua, tiga atau empat." (Al-Qur'an, Surah an-Nisak ayat 3)
Ayat di atas
menerangkan dengan jelas bahawa Allah telah menetapkan seseorang itu berkahwin
tidak boleh lebih dari empat orang isteri. Jadi, Islam membatasi kalau tidak
beristeri satu, boleh dua, tiga atau empat sahaja.
Pembatasan ini juga
bertujuan membatasi kaum lelaki yang suka dengan perempuan agar tidak berbuat
sesuka hatinya. Di samping itu, dengan pembatasan empat orang isteri,
diharapkan jangan sampai ada lelaki yang tidak menemukan isteri atau ada pula
wanita yang tidak menemukan suami. Mungkin, kalau Islam membolehkan dua orang
isteri saja, maka akan banyak wanita yang tidak menikah. Kalau pula dibolehkan
lebih dari empat, mungkin terjadi banyak lelaki tidak memperolehi isteri.
4
b. Diharamkan bagi suami mengumpulkan
wanita-wanita yang masih ada tali persaudaraan menjadi isterinya. Misalnya,
berkahwin dengan kakak dan adik, ibu dan anaknya, anak saudara dengan emak
saudara baik sebelah ayah mahupun ibu.
Tujuan pengharaman ini
ialah untuk menjaga silaturrahim antara anggota-anggota keluarga. Rasulullah
(s.a.w.) bersabda, maksudnya;
"Sesungguhnya
kalau kamu berbuat yang demikian itu, akibatnya kamu akan memutuskan
silaturrahim di antara sesama kamu." (Hadis riwayat Bukhari & Muslim)
Kemudian dalam hadis
berikut, Rasulullah (s.a.w.) juga memperkuatkan larangan ini, maksudnya;
Bahawa
Urnmu Habibah (isteri Rasulullah) mengusulkan agar baginda menikahi adiknya. Maka
beliau menjawab; "Sesungguhnya dia tidak halal untukku." (Hadis
riwayat Bukhari dan Nasa'i)
Seorang sahabat bernama
Fairuz Ad-Dailamy setelah memeluk agama Islam, beliau memberitahu kepada
Rasulullah bahawa beliau mempunyai isteri yang kakak beradik. Maka Rasulullah
menyuruhnya memilih salah seorang di antara mereka dan menceraikan yang satunya
lagi. Jadi telah disepakati tentang haramnya mengumpulkan kakak beradik ini di
dalam Islam.
c. Disyaratkan pula berlaku adil,
sebagaimana yang difirmankan Allah (SWT);
"Kemudian
jika kamu bimbang tidak dapat berlaku adil (di antara isteri-isteri kamu), maka
(kahwinlah dengan) seorang sahaja, atau (pakailah) hamba-hamba perempuan yang
kaumiliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat (untuk mencegah) supaya kamu
tidak melakukan kezaliman." (Al-Qur'an, Surah an-Nisak ayat 3)
Dengan tegas
diterangkan serta dituntut agar para suami bersikap adil jika akan berpoligami.
5
Andaikan takut tidak
dapat berlaku adil kalau sampai empat orang isteri, cukuplah tiga orang sahaja.
Tetapi kalau itupun masih juga tidak dapat adil, cukuplah dua sahaja. Dan kalau
dua itu pun masih khuatir tidak boleh berlaku adil, maka hendaklah menikah
dengan seorang sahaja.
Para mufassirin
berpendapat bahawa berlaku adil itu wajib. Adil di sini bukanlah bererti hanya
adil terhadap para isteri sahaja, tetapi mengandungi erti berlaku adil secara
mutlak. Oleh kerana itu seorang suami hendaklah berlaku adil sebagai berikut:
1) Berlaku adil
terhadap dirinya sendiri.
Seorang suami yang
selalu sakit-sakitan dan mengalami kesukaran untuk bekerja mencari rezeki,
sudah tentu tidak akan dapat memelihara beberapa orang isteri. Apabila dia
tetap berpoligami, ini bererti dia telah menganiayai dirinya sendiri. Sikap
yang demikian adalah tidak adil.
2) Adil di antara para
isteri.
Setiap isteri berhak
mendapatkan hak masing-masing dari suaminya, berupa kemesraan hubungan jiwa,
nafkah berupa makanan, pakaian, tempat tinggal dan lain-lain perkara yang
diwajibkan Allah kepada setiap suami.
Adil di antara
isteri-isteri ini hukumnya wajib, berdasarkan firman Allah dalam Surah an-Nisak
ayat 3 dan juga sunnah Rasul. Rasulullah (s.a.w.) bersabda, maksudnya;
"Barangsiapa
yang mempunyai dua isteri, lalu dia cenderung kepada salah seorang di antaranya
dan tidak berlaku adil antara mereka berdua, maka kelak di hari kiamat dia akan
datang dengan keadaan pinggangnya miring hampir jatuh sebelah." (Hadis
riwayat Ahmad bin Hanbal)
3) Adil memberikan
nafkah.
Dalam soal adil
memberikan nafkah ini, hendaklah si suami tidak mengurangi nafkah dari salah
seorang isterinya dengan alasan bahawa si isteri itu kaya atau ada sumber
kewangannya, kecuali kalau si isteri itu rela.
6
Suami memang boleh
menganjurkan isterinya untuk membantu dalam soal nafkah tetapi tanpa paksaan.
Memberi nafkah yang lebih kepada seorang isteri dari yang lain-lainnya
diperbolehkan dengan sebab-sebab tertentu. Misalnya, si isteri tersebut sakit
dan memerlukan biaya rawatan sebagai tambahan.
Prinsip adil ini tidak
ada perbezaannya antara gadis dan janda, isteri lama atau isteri baru, isteri
yang masih muda atau yang sudah tua, yang cantik atau yang tidak cantik, yang
berpendidikan tinggi atau yang buta huruf, kaya atau miskin, yang sakit atau
yang sihat, yang mandul atau yang dapat melahirkan. Kesemuanya mempunyai hak
yang sama sebagai isteri.
4) Adil dalam
menyediakan tempat tinggal.
Selanjutnya, para ulama
telah sepakat mengatakan bahawa suami bertanggungjawab menyediakan tempat
tinggal yang tersendiri untuk tiap-tiap isteri berserta anak-anaknya sesuai
dengan kemampuan suami. Ini dilakukan semata-mata untuk menjaga kesejahteraan
isteri-isteri, jangan sampai timbul rasa cemburu atau pertengkaran yang tidak
diingini.
5) Adil dalam giliran.
Demikian juga, isteri
berhak mendapat giliran suaminya menginap di rumahnya sama lamanya dengan waktu
menginap di rumah isteri-isteri yang lain. Sekurang-kurangnya si suami mesti
menginap di rumah seorang isteri satu malam suntuk tidak boleh kurang. Begitu
juga pada isteri-isteri yang lain. Walaupun ada di antara mereka yang dalam
keadaan haidh, nifas atau sakit, suami wajib adil dalam soal ini. Sebab, tujuan
perkahwinan dalam Islam bukanlah semata-mata untuk mengadakan 'hubungan seks'
dengan isteri pada malam giliran itu, tetapi bermaksud untuk menyempumakan
kemesraan, kasih sayang dan kerukunan antara suami isteri itu sendiri. Hal ini
diterangkan Allah dengan firman-Nya;
7
"Dan
di antara tanda-tanda yang membuktikan kekuasaan-Nya, dan rahmat-Nya, bahawa la
menciptakan untuk kamu (wahai kaum lelaki), isteri-isteri dari jenis kamu
sendiri, supaya kamu bersenang hati dan hidup mesra dengannya, dan
dijadikan-Nya di antara kamu (suami isteri) perasaan kasih sayang dan belas
kasihan. Sesungguhnya yang demikian itu mengandungi keterangan-keterangan (yang
menimbulkan kesedaran) bagi orang-orang yang berfikir." (Al-Qur'an, Surah
ar-Ruum ayat 21)
Andaikan suami tidak
bersikap adil kepada isteri-isterinya, dia berdosa dan akan menerima seksaan
dari Allah (SWT) pada hari kiamat dengan tanda-tanda berjalan dalam keadaan
pinggangnya miring. Hal ini akan disaksikan oleh seluruh umat manusia sejak
Nabi Adam sampai ke anak cucunya.
Firman Allah (SWT)
dalam Surah az-Zalzalah ayat 7 hingga 8;
"Maka
sesiapa berbuat kebajikan seberat zarrah, nescaya akan dilihatnya (dalam surat
amalnya)! Dan sesiapa berbuat kejahatan seberat zarrah, nescaya akan dilihatnya
(dalam surat amalnya)."
6) Anak-anak juga
mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan, pemeliharaan serta kasih sayang
yang adil dari seorang ayah.
Oleh itu, disyaratkan
agar setiap suami yang berpoligami tidak membeza-bezakan antara anak si anu
dengan anak si anu. Berlaku adil dalam soal nafkah anak-anak mestilah
diperhatikan bahawa nafkah anak yang masih kecil berbeza dengan anak yang sudah
besar. Anak-anak perempuan berbeza pula dengan anak-anak lelaki. Tidak kira
dari ibu yang mana, kesemuanya mereka berhak memiliki kasih sayang serta
perhatian yang seksama dari bapa mereka. Jangan sampai mereka diterlantarkan
kerana kecenderungan si bapa pada salah seorang isteri serta anak-anaknya
sahaja.
8
Keadilan juga sangat
dituntut oleh Islam agar dengan demikian si suami terpelihara dari sikap curang
yang dapat merosakkan rumahtangganya. Seterusnya, diharapkan pula dapat
memelihara dari terjadinya cerai-berai di antara anak-anak serta menghindarkan
rasa dendam di antara sesama isteri.
Sesungguhnya kalau
diperhatikan tuntutan syarak dalam hal menegakkan keadilan antara para isteri,
nyatalah bahawa sukar sekali didapati orang yang sanggup menegakkan keadilan
itu dengan sewajarnya.
Bersikap adil dalam
hal-hal menzahirkan cinta dan kasih sayang terhadapisteri-isteri, adalah satu
tanggungjawab yang sangat berat. Walau bagaimanapun, ia termasuk perkara yang
berada dalam kemampuan manusia. Lain halnya dengan berlaku adil dalam soal
kasih sayang, kecenderungan hati dan perkara-perkara yang manusia tidak
berkesanggupan melakukannya, mengikut tabiat semulajadi manusia.
Hal ini sesuai dengan
apa yang telah difirmankan Allah dalam Surah an-Nisak ayat 129 yang berbunyi;
"Dan
kamu tidak sekali-kali akan sanggup berlaku adil di antara isteri-isteri kamu
sekalipun kamu bersungguh-sungguh (hendak melakukannya); oleh itu janganlah
kamu cenderung dengan melampau-lampau (berat sebelah kepada isteri yang kamu
sayangi) sehingga kamu biarkan isteri yang lain seperti benda yang tergantung (di
awang-awang)."
Selanjutnya Siti
'Aisyah (r.a.) menerangkan, maksudnya;
Bahawa
Rasulullah (s.a.w.) selalu berlaku adil dalam mengadakan pembahagian antara
isteri-isterinya. Dan beliau berkata dalam doanya: "Ya Allah, inilah
kemampuanku membahagi apa yang ada dalam milikku. Ya Allah, janganlah aku
dimarahi dalam membahagi apa yang menjadi milikku dan apa yang bukan
milikku."
9
Menurut Prof. Dr.
Syeikh Mahmoud Syaltout; "Keadilan yang dijadikan syarat diperbolehkan
poligami berdasarkan ayat 3 Surah an-Nisak. Kemudian pada ayat 129 Surah
an-Nisak pula menyatakan bahawa keadilan itu tidak mungkin dapat dipenuhi atau
dilakukan. Sebenamya yang dimaksudkan oleh kedua ayat di atas ialah keadilan
yang dikehendaki itu bukanlah keadilan yang menyempitkan dada kamu sehingga
kamu merasakan keberatan yang sangat terhadap poligami yang dihalalkan oleh
Allah. Hanya saja yang dikehendaki ialah jangan sampai kamu cenderung
sepenuh-penuhnya kepada salah seorang sahaja di antara para isteri kamu itu,
lalu kamu tinggalkan yang lain seperti tergantung-gantung."
Kemudian Prof. Dr. T.M.
Hasbi Ash-Shidieqy pula menerangkan; "Orang yang boleh beristeri dua ialah
yang percaya benar akan dirinya dapat berlaku adil, yang sedikit pun tidak akan
ada keraguannya. Jika dia ragu, cukuplah seorang sahaja."
"Adil yang
dimaksudkan di sini ialah 'kecondongan hati'. Dan ini tentu amat sulit untuk
dilakukan, sehingga poligami adalah suatu hal yang sukar untuk dicapai.
Jelasnya, poligami itu diperbolehkan secara darurat bagi orang yang benar-benar
percaya dapat berlaku adil."
Selanjutnya beliau
menegaskan, jangan sampai si suami membiarkan salah seorang isterinya
terkatung-katung, digantung tak bertali. Hendaklah disingkirkan sikap condong
kepada salah seorang isteri yang menyebabkan seorang lagi kecewa. Adapun
condong yang dimaafkan hanyalah condong yang tidak dapat dilepaskan oleh setiap
individu darinya, iaitu condong hati kepada salah seorangnya yang tidak membawa
kepada mengurangkan hak yang seorang lagi.
10
Afif Ab. Fattah
Tabbarah dalam bukunya Ruhuddinil Islami mengatakan; "Makna adil di dalam
ayat tersebut ialah persamaan; yang dikehendaki ialah persamaan dalam hal
pergaulan yang bersifat lahir seperti memberi nafkah, tempat tinggal, tempat
tidur, dan layanan yang baik, juga dalam hal menunaikan tanggungjawab sebagai
suami isteri."
d. Tidak menimbulkan huru-hara di kalangan isteri
mahupun anak-anak. Jadi, suami mesti yakin bahawa perkahwinannya yang baru ini
tidak akan menjejaskan serta merosakkan kehidupan isteri serta anak-anaknya.
Kerana, diperbolehkan poligami dalam Islam adalah untuk menjaga kepentingan
semua pihak. Jika kepentingan ini tidak dapat dijaga dengan baik, maka
seseorang yang berpoligami pada saat itu adalah berdosa.
e.
Berkuasa menanggung nafkah. Yang dimaksudkan dengan nafkah di sini ialah nafkah
zahir, sebagaimana Rasulullah (s.a.w.) bersabda yang bermaksud;
"Wahai
sekalian pemuda, sesiapa di antara kamu yang berkuasa mengeluarkan nafkah, maka
hendaklah kamu berkahwin. Dan sesiapa yang tidak berkuasa, hendaklah berpuasa."
Hadis di atas
menunjukkan bahawa Rasulullah (s.a.w.) menyuruh setiap kaum lelaki supaya
berkahwin tetapi dengan syarat sanggup mengeluarkan nafkah kepada isterinya.
Andaikan mereka tidak berkemampuan, maka tidak digalakkan berkahwin walaupun
dia seorang yang sihat zahir serta batinnya. Oleh itu, untuk menahan nafsu
seksnya, dianjurkan agar berpuasa. Jadi, kalau seorang isteri saja sudah
kepayahan untuk memberi nafkah, sudah tentulah Islam melarang orang yang
demikian itu berpoligami. Memberi nafkah kepada isteri adalah wajib sebaik
sahaja berlakunya suatu perkahwinan, ketika suami telah memiliki isteri secara
mutlak. Begitu juga si isteri wajib mematuhi serta memberikan perkhidmatan yang
diperlukan dalam pergaulan sehari-hari.
11
Kesimpulan dari maksud
kemampuan secara zahir ialah;
i) Mampu memberi nafkah
asas seperti pakaian dan makan minum.
ii) Mampu menyediakan
tempat tinggal yang wajar.
iii) Mampu menyediakan
kemudahan asas yang wajar seperti pendidikan dan sebagainya.
iv) Sihat tubuh
badannya dan tidak berpenyakit yang boleh menyebabkan ia gagal memenuhi
tuntutan nafkah zahir yang lain.
v) Mempunyai kemampuan
dan keinginan seksual.
2. Persyaratan dari UU perkawinan
Persyaratan dari
Undang-undang perkawinan ini tidak sama sekali bertentangan dengan konstitusi
dan ajaran islam. Mahkama Konstitusi (MK) menyatakan bahwa ketentuan
yangtercantum dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan (UU Perkawinan) yang
menyatakan asas perkawinan adalah monogami, dan poligami diperbolehkan dengan
alasan, syarat, dan prosedur tertentu tidak bertentangan dengan ajaran islam
dan hak untuk membetuk suatu keluarga, hak untuk bebas memeluk agama dan
beribadat menurut agamanya, danhak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif sebagaimana diatur dalam UUD 1945.
Pasal-pasal
dalam UU Perkawinan yang Dinyatakan Tidak Bertentangan dengan Konstitusi
Pasal 3
ayat (1) : "Pada
asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang
isteri, seorang isteri hanya boleh mempunyai seorang suami".
ayat (2):
"Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih
dari seorang".
12
Pasal 4:
ayat (1): "Dalam
hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang maka wajib ia mengajukan
permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya".
ayat (2):
"Pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri
lebih dari seorang apabila:
a. Isteri tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai seorang isteri;
b. Isteri mendapat
cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. Isteri tidak dapat
melahirkan keturunan.
Pasal 5
ayat (1): "Untuk
dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan harus dipenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
a. adanya persetujuan
dari isteri/isteri;
b. adanya kepastian
bahwa suami mampu menjamin keperluan¬keperluan hidup isteri-isteri dan
anak-anak mereka;
c. adanya jaminan bahwa
suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka
Pasal 9: "Seorang
masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali
hal yang tersebut dalam Pasal 3 Ayat (2) dan Pasal 4 undang-undang ini."
Pasal 15: "Barang
siapa karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua
belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mencegah perkawinan
yang baru.
Pasal 24: "Barang
siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu pihak dan atas
dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru.
13
Mengenai adanya
ketentuan yang mengatur tentang poligami untuk WNI yang hukum agamanya
memperkenankan perkawinan poligami, hal ini menurut MK adalah wajar. Oleh
karena sahnya suatu perkawinan menurut Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan apabila
dilakukan sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Sebaliknya, akan menjadi
tidak wajar jika UU Perkawinan mengatur poligami untuk mereka yang hukum
agamanya tidak mengenal poligami. Jadi pengaturan yang berbeda ini bukan suatu
bentuk diskriminasi, karena dalam pengaturan ini tidak ada yang dibedakan,
melainkan mengatur sesuai degan apa yang dibutuhkan, sedangkan diskriminasi
adalah memberikan perlakuan yang berbeda terhadap dua hal yang sama.
C.
HUKUM BERPOLIGAMI TANPA PERSETUJUAN ISTRI
Sidang
Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) Jatim yang diselenggarakan di
Pondok Pesantren Putri Walisongo Cukir Jombang telah merumuskan atau telah
menghasilkan sebuah rumusan yang berbunyi jikalau seorang suami ingin menikahi istri
keduanya tanpa minta izin atau restu kepada istri pertama adalah dihukumi sah atau
dapat diartikan bahwa diperbolehkan seorang suami berpoligami tanpa restu
seorang istri.
Diperbolehkanya
berpoligami tanpa minta izin pada istri pertama tersebut mengacu atau mengikuti
pada madzhab Syafi’I, sedangkan menurut mazhab hambali terdapat dalam kitab
Ar-Raudl wal Murabba’ sah dan tidak haram. Begitu pula dengan kitab Imam
Hambali yang lainya seperti Al-Mughni dan lain sebagainya hukumnya bisa sah dan
bisa haram, dengan alasan jika pada saat aqad nikah dengan istri pertama ada
perjanjian untuk tidak berpoligami atau kebiasaan wanita setempat tidak ada
kerelaan untuk berpoligami. Hanya saja jika dikaitkan dengan peraturan
pemerintah republik Indonesia yang menyebutkan dan mengaruskan jika tidak minta
izin atau restu dulu kepada istri pertama maka hukumnya adalah haram.
14
Sidang
Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) juga merumuskan atau menghasilkan hukum
tidak diperbolehkanya seorang istri minta cerai atau mengajukan cerai karena
tidak mau dimadu, dengan alasan pengajuan cerai atau minta cerai itu jika sang
suami tidak menafkahi sang istri atau sang istri memunyai aib ini menurut imam
Syafi’I, sedangkan menurut Imam Hambali diperbolehkan istri mengajukan cerai
karena sang istri dimadu dengan alasan ada persyaratan dalam aqad nikah atau
menjadi kebiasaan wanita setempat, Sementara Menurut Imam Maliki pengajuan
gugatan cerai itu diperbolehkan jika sang suami melakukan tindak kekerasan
terhadap sang istri.
D.
FAKTOR SESEORANG BERPOLIGAMI
1.
Faktor Biologis
a. Istri yang Sakit
Adanya seorang istri
yang menderita suatu penyakit yang dapat menimbulkan tidak memungkinkan dia
untuk melayani hasrat seksual suaminya. Maka bagi suami yang shaleh akan
menentukan pilihan untuk berpoligami dari pada pergi ketempat mesum dan
sejumlah wanita pelacur.
b. Hasrat Seksual yang Tinggi
Sebagian ada pada diri
kaum pria memiliki gairah dan hasrat seksual yang cukup tinggi dan menggebu,
sehingga baginya satu istri dirasa tidak cukup untuk menyalurkan hasratnya
tersebut.
c. Rutinitas Alami Setiap Wanita
Adanya masa-masa haid,
kehamilan dan melahirkan, menjadi alasan utama seorang wanita tidak dapat
menjalankan salah satu kewajiban terhadap suaminya. Sehingga apabila suami yang
berhasrat tinggi hendaklah memilih untuk berpoligami.
d. Masa Subur kaum pria lebih Lama
15
2.
Faktor Internal Rumah Tangga
a. Kemandulan
b. Istri yang Lemah
c. Kepribadian yang buruk
3.
Faktor Sosial
a. Banyaknya Jumlah Wanita
Di Indonesia, pada
PEMILU tahun 1999, jumlah pemilih pria hanya 48%, sedangkan pemilih wanita
sebanyak 52%. Berarti dari jumlah 110 Juta jiwa pemilih tersebut, jumlah wanita
adalah 57,2 juta orang dan Jumlah pria 52,8 juta orang. Padahal usia para
pemilih itu merupakan usia siap nikah.
b. Kesiapan Menikah dan Harapan Hidup pada
Wanita
c. Berkurangnya Jumlah Kaum Pria
d. Lingkungan dan Tradisi
e. Kemapanan Ekonomi
E.
DAMPAK NEGATIF POLIGAMI
1.
Dampak Negatif Poligami terhadap Kehidupan Keluarga
Dampak
poligami terhadap kehidupan rumah tangga antara lain :
1. Ketidakharmonisan
hubungan anggota keluarga.
2. Sering
timbul permasalahan atau percek-cokan.
3. Tidak
adanya rasa saling pecaya.
4. Tidak adanya kepedulian yang besar dari suami
terhadap anak dan isteri.
5. Kemungkinan
dapat menyebabkan perceraian.
2.
Dampak Negatif Poligami terhadap Istri
Dampak
psikologis: perasaan inferior istri dan menyalahkan diri karena merasa tindakan
suaminya berpoligami adalah akibat dari ketidakmampuan dirinya memenuhi
kebutuhan biologis suaminya.
16
Dampak
ekonomi rumah tangga: Ketergantungan secara ekonomi kepada suami. Walaupun ada
beberapa suami memang dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya, tetapi dalam
prakteknya lebih sering ditemukan bahwa suami lebih mementingkan istri muda dan
menelantarkan istri dan anak-anaknya terdahulu.. Akibatnya istri yang tidak
memiliki pekerjaan akan sangat kesulitan menutupi kebutuhan sehari-hari. Kekerasan terhadap perempuan, baik kekerasan
fisik, ekonomi, seksual maupun psikologis. Hal ini umum terjadi pada rumah
tangga poligami, walaupun begitu kekerasan juga terjadi pada rumah tangga yang
monogami.
Dampak
hukum: Seringnya terjadi nikah di bawah tangan (perkawinan yang tidak
dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama), sehingga
perkawinan dianggap tidak sah oleh negara, walaupun perkawinan tersebut sah
menurut agama. Pihak perempuan akan dirugikan karena konsekwensinya suatu
perkawinan dianggap tidak ada, seperti hak waris dan sebagainya.
Dampak
kesehatan: Kebiasaan berganti-ganti pasangan menyebabkan suami/istri menjadi
rentan terhadap penyakit menular seksual (PMS), bahkan rentan terjangkit virus
HIV/AIDS.
3.
Dampak Negatif Poligami terhadap Anak
1. Sang anak merasa tidak mendapatkan perhatian
dari orang tuanya.
2. Anak menjadi frustasi melihat keadaan orang
tuanya.
3. Anak mendapat tekanan mental.
4. Adanya rasa benci kepada sang ayah.
5. Dicemooh oleh teman-temannya.
6. Anak tidak betah di rumah.
7. Tidak menutup kemungkinan anak menjadi
melakukan perbuatan yang tidak baik.
8. Anak mengikuti pergaulan yang negative.
17
9. Anak tidak semangat belajar.
10. Anak menjadi beranggapan negative terhadap
orang tua
F.
HIKMAH DIPERBOLEHKANNYA POLIGAMI
Mengenai hikmah
dizinkan berpoligami(dalam keadaan darurat dengan syarat berlaku adil)antara
lain adalah sebagai berikut:
1. Untuk mendapat keturunan bagi suami yang
subur dan istri yang mandul.
2. Untuk menjaga keutuhan keluarga tampa
menceraikan istri, sekalipun istri tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai
istri,atau ia mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
3. Untuk menyelamatkan suami dari yang hypersex
dari perbuatan zina dan krisis ahklak lainnya.
4. Untuk menyelamatkan kaum wanita dari krisis
ahklak.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan :
Pada
dasarnya hukum Islam memiliki tujuan yang luar biasa atas poligami ini asalkan
sang suami dapat menjalankan syarat-syarat yang telah ditentukan dan
sesungguhnya kemuliaan lah yang terdapat pada sang suami jika beristri lebih
dari satu (asalkan dalam syarat-syarat) karena ia telah membantu wanita dari
berbagai faktor. Namun dalam kenyataan yang ada pada masyarakat masih banyak
orang beranggapan negatif terhadap orang-orang yang beristri lebih dari satu/
berpoligami. Hal ini disebabkan karenah masalah poligami masih tabu
dimasyarakat.
Saran :
Sebaiknya
masyarakat tidak terlalu beranggapan negatif terhadap seseorang yang melakukan
berpoligami karena ia pasti sudah memikirkan matang-matang dan memiliki alasan
tertentu kenapa ia berpoligami. Selain itu bagi para suami hendaklah berseorang
istri apabila ia tidak mampu menjalankan syarat berpoligami. Dan untuk para
istri berlapanglah jika sang suami beristri dua dan telah mampu menjalankan
syarat poligami. Sedang untuk wanita yang termasuk dalam “wanita perempuan
lebih banyak dari laki-laki” maka hendaklah memilih 3 diantara ini.
1. Menghabiskan
seluruh masa hidupnya dengan menelan kenyataan pahit tidak mendapatkan jodoh.
2. Melepaskan
kendali, menjadi pemuas nafsu bagi laki-laki hidung belang yang diharamkan.
3. Atau menikah dengan seorang laki-laki beristri
yang mampu memberi nafkah dan berlaku baik.