Sabtu, 11 Januari 2014

pengertian poligami, syarat dan hukum berpoligami


KATA PENGANTAR

puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya yang begitu berlimpah kepada penyaji sehinggah Makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya dengan judul POLIGAMI. Makalah ini dapat memberikan informasi serta wawasan lebih kepada kita semua tentang Poligami serta sikap memandang poligami yang terkadang cenderung dianggap negatif. Kami menyadari bahwa Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan Makalah ini dan Makalah selanjutnya.
Akhir kata, saya menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan Makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhahi segala usaha kami. Amin. 


BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
        Poligami merupakan suatu tindakan yang sampai saat ini menjadi pro kontrak di masarakat. Masih banak pula yang menganggap poligami adalah tindakan negatif terutama anggapan wanita. Hal ini dikarenakan rasa kurangna keadilan terhadap pihak wanita dan hanya menguntungkan pihak pria saja.
        Di Indonesia sendiri sudah ada Undang-Undang yang mengenai boleh tidaknya poligami dilakukan.Poligami yang dianjurkan dalam islam sedikit berbeda dengan aturan Undang-Undang yang ada di Indonesia. Dan poligami dalam islam adanya bukan tanpa tujuan dan alasan yang rasional, seperti yang kita ketahui bahwa semua yang telah menjadi aturan dan hukum dalam islam itu sudah ada alasan dan hikmah yang terkadang kita kurang menyadari dan memahami.Di dalam masalah berpoligami sering kita saratkan yang pertama adalah adil, tidak hanya harta yang sering disebut-sebut sebagai tolak ukur membagi keadilan namun masih banyak utasan lain.

B.     RUMUSAN MASALAH
        Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan tentu dapat trlihat banyak hal yang berlu dibenahi lagi. Sehingga dapat disimpulkan menjadi rumusan masalah yaitu :
1.      Apa yang dimaksud poligami?
2.      Bagaimana Undang-Undang di Indonesia mengenai poligami?
3.      Bagaimana pandangan islam mengenai poligami?
4.      Dampak apa saja yang akan terjadi bila suami berpoligami?
5.      Apa saja hukum dan sayarat berpoligami?
1
C.    TUJUAN PENULISAN
1.      Untuk mengetahui apa itu poligami.
2.      Untuk mengetahui mengapa islam membolehkan poligami.
3.      Untuk mengetahui apa hikma poligami.
4.      Untuk mengetahui dampak-dampak poligami lebih spesifik.
5.      Untuk mengetahui bagaimana wanita menyikapi masalah poligami.
BAB II
PEMBAHASAN

A.  PENGERTIAN POLIGAMI
          Kata poligami berasal dari bahasa yunani, poly atau polus yang berarti kawin atau perkawinan. Jadi secara bahasa, poligami berarti perkawinan yang banyak atau suatu perkawinan yang lebih satu orang baik pria maupun wanita.
Dalam antropologi sosial, poligami merupakan praktek pernikahan kepada lebih dari satu isti atau suami. Terdapat tiga bentuk poligami, yaitu: poligini (seorang pria memiliki beberapa orang istri); poliandri (seorang wanita memiliki beberapa orang suami) dan Group Mariiage atau Group Family (yaitu gabungan dari poligini dengan poliandri,misalkan dalam suatu rumah terdapat empat laki-laki dan empat wanita, kemudian bercampur secara bergantian). Bentuk-bentuk poligami itu ditemukan dalam sejarah manusia, namun poligini merupakan bentuk paling umum. Poligami (dalam makna poligini)bukan  semata-mata produk syariat Islam. Jauh sebelum Islam datang, peradapan manusia diberbagai belahan dunia telah mengenal poligami itu sendiri.
Allah SWT memperbolehkan umatnya berpoligami sampai 4 orang istri dengan syarat dapat berperilaku adil kepada mereka,yaitu dalam melayani istri, seperti halnya urusan nafkah, tempat tinggal, pakaian,giliran dan segala halyang bersifat lahiriyah. Dan apabila tidak mampu berlaku adil maka hendaklah cukup satu istri saja (monogami). Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam surat an-nisa QS 3 ayat 3
            Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua,tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja,
3
atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (An-nisa :3)
B.  SYARAT BERPOLIGAMI
1.    Persyaratan dalam islam
Islam memperbolehkan umatnya berpoligami berdasarkan nas-nas syariat serta realiti keadaan masyarakat. Ini bererti ia tidak boleh dilakukan dengan sewenang-wenangnya demi untuk mencapai kesejahteraan masyarakat Islam, demi untuk menjaga ketinggian budi pekerti dan nilai kaum Muslimin. Oleh yang demikian, apabila seorang lelaki akan berpoligami, hendaklah dia memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a.    Membatasi jumlah isteri yang akan dikahwininya. Syarat ini telah disebutkan oleh Allah (SWT) dengan firman-Nya;
"Maka berkahwinlah dengan sesiapa yang kamu ber-kenan dari perempuan-perempuan (lain): dua, tiga atau empat." (Al-Qur'an, Surah an-Nisak ayat 3)
Ayat di atas menerangkan dengan jelas bahawa Allah telah menetapkan seseorang itu berkahwin tidak boleh lebih dari empat orang isteri. Jadi, Islam membatasi kalau tidak beristeri satu, boleh dua, tiga atau empat sahaja.
Pembatasan ini juga bertujuan membatasi kaum lelaki yang suka dengan perempuan agar tidak berbuat sesuka hatinya. Di samping itu, dengan pembatasan empat orang isteri, diharapkan jangan sampai ada lelaki yang tidak menemukan isteri atau ada pula wanita yang tidak menemukan suami. Mungkin, kalau Islam membolehkan dua orang isteri saja, maka akan banyak wanita yang tidak menikah. Kalau pula dibolehkan lebih dari empat, mungkin terjadi banyak lelaki tidak memperolehi isteri.


4
b.    Diharamkan bagi suami mengumpulkan wanita-wanita yang masih ada tali persaudaraan menjadi isterinya. Misalnya, berkahwin dengan kakak dan adik, ibu dan anaknya, anak saudara dengan emak saudara baik sebelah ayah mahupun ibu.
Tujuan pengharaman ini ialah untuk menjaga silaturrahim antara anggota-anggota keluarga. Rasulullah (s.a.w.) bersabda, maksudnya;
"Sesungguhnya kalau kamu berbuat yang demikian itu, akibatnya kamu akan memutuskan silaturrahim di antara sesama kamu." (Hadis riwayat Bukhari & Muslim)
Kemudian dalam hadis berikut, Rasulullah (s.a.w.) juga memperkuatkan larangan ini, maksudnya;
Bahawa Urnmu Habibah (isteri Rasulullah) mengusulkan agar baginda menikahi adiknya. Maka beliau menjawab; "Sesungguhnya dia tidak halal untukku." (Hadis riwayat Bukhari dan Nasa'i)
Seorang sahabat bernama Fairuz Ad-Dailamy setelah memeluk agama Islam, beliau memberitahu kepada Rasulullah bahawa beliau mempunyai isteri yang kakak beradik. Maka Rasulullah menyuruhnya memilih salah seorang di antara mereka dan menceraikan yang satunya lagi. Jadi telah disepakati tentang haramnya mengumpulkan kakak beradik ini di dalam Islam.
c.    Disyaratkan pula berlaku adil, sebagaimana yang difirmankan Allah (SWT);
"Kemudian jika kamu bimbang tidak dapat berlaku adil (di antara isteri-isteri kamu), maka (kahwinlah dengan) seorang sahaja, atau (pakailah) hamba-hamba perempuan yang kaumiliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat (untuk mencegah) supaya kamu tidak melakukan kezaliman." (Al-Qur'an, Surah an-Nisak ayat 3)
Dengan tegas diterangkan serta dituntut agar para suami bersikap adil jika akan berpoligami.

5
Andaikan takut tidak dapat berlaku adil kalau sampai empat orang isteri, cukuplah tiga orang sahaja. Tetapi kalau itupun masih juga tidak dapat adil, cukuplah dua sahaja. Dan kalau dua itu pun masih khuatir tidak boleh berlaku adil, maka hendaklah menikah dengan seorang sahaja.
Para mufassirin berpendapat bahawa berlaku adil itu wajib. Adil di sini bukanlah bererti hanya adil terhadap para isteri sahaja, tetapi mengandungi erti berlaku adil secara mutlak. Oleh kerana itu seorang suami hendaklah berlaku adil sebagai berikut:
1) Berlaku adil terhadap dirinya sendiri.
Seorang suami yang selalu sakit-sakitan dan mengalami kesukaran untuk bekerja mencari rezeki, sudah tentu tidak akan dapat memelihara beberapa orang isteri. Apabila dia tetap berpoligami, ini bererti dia telah menganiayai dirinya sendiri. Sikap yang demikian adalah tidak adil.
2) Adil di antara para isteri.
Setiap isteri berhak mendapatkan hak masing-masing dari suaminya, berupa kemesraan hubungan jiwa, nafkah berupa makanan, pakaian, tempat tinggal dan lain-lain perkara yang diwajibkan Allah kepada setiap suami.
Adil di antara isteri-isteri ini hukumnya wajib, berdasarkan firman Allah dalam Surah an-Nisak ayat 3 dan juga sunnah Rasul. Rasulullah (s.a.w.) bersabda, maksudnya;
"Barangsiapa yang mempunyai dua isteri, lalu dia cenderung kepada salah seorang di antaranya dan tidak berlaku adil antara mereka berdua, maka kelak di hari kiamat dia akan datang dengan keadaan pinggangnya miring hampir jatuh sebelah." (Hadis riwayat Ahmad bin Hanbal)
3) Adil memberikan nafkah.
Dalam soal adil memberikan nafkah ini, hendaklah si suami tidak mengurangi nafkah dari salah seorang isterinya dengan alasan bahawa si isteri itu kaya atau ada sumber kewangannya, kecuali kalau si isteri itu rela.

6
Suami memang boleh menganjurkan isterinya untuk membantu dalam soal nafkah tetapi tanpa paksaan. Memberi nafkah yang lebih kepada seorang isteri dari yang lain-lainnya diperbolehkan dengan sebab-sebab tertentu. Misalnya, si isteri tersebut sakit dan memerlukan biaya rawatan sebagai tambahan.
Prinsip adil ini tidak ada perbezaannya antara gadis dan janda, isteri lama atau isteri baru, isteri yang masih muda atau yang sudah tua, yang cantik atau yang tidak cantik, yang berpendidikan tinggi atau yang buta huruf, kaya atau miskin, yang sakit atau yang sihat, yang mandul atau yang dapat melahirkan. Kesemuanya mempunyai hak yang sama sebagai isteri.
4) Adil dalam menyediakan tempat tinggal.
Selanjutnya, para ulama telah sepakat mengatakan bahawa suami bertanggungjawab menyediakan tempat tinggal yang tersendiri untuk tiap-tiap isteri berserta anak-anaknya sesuai dengan kemampuan suami. Ini dilakukan semata-mata untuk menjaga kesejahteraan isteri-isteri, jangan sampai timbul rasa cemburu atau pertengkaran yang tidak diingini.
5) Adil dalam giliran.
Demikian juga, isteri berhak mendapat giliran suaminya menginap di rumahnya sama lamanya dengan waktu menginap di rumah isteri-isteri yang lain. Sekurang-kurangnya si suami mesti menginap di rumah seorang isteri satu malam suntuk tidak boleh kurang. Begitu juga pada isteri-isteri yang lain. Walaupun ada di antara mereka yang dalam keadaan haidh, nifas atau sakit, suami wajib adil dalam soal ini. Sebab, tujuan perkahwinan dalam Islam bukanlah semata-mata untuk mengadakan 'hubungan seks' dengan isteri pada malam giliran itu, tetapi bermaksud untuk menyempumakan kemesraan, kasih sayang dan kerukunan antara suami isteri itu sendiri. Hal ini diterangkan Allah dengan firman-Nya;


7
"Dan di antara tanda-tanda yang membuktikan kekuasaan-Nya, dan rahmat-Nya, bahawa la menciptakan untuk kamu (wahai kaum lelaki), isteri-isteri dari jenis kamu sendiri, supaya kamu bersenang hati dan hidup mesra dengannya, dan dijadikan-Nya di antara kamu (suami isteri) perasaan kasih sayang dan belas kasihan. Sesungguhnya yang demikian itu mengandungi keterangan-keterangan (yang menimbulkan kesedaran) bagi orang-orang yang berfikir." (Al-Qur'an, Surah ar-Ruum ayat 21)
Andaikan suami tidak bersikap adil kepada isteri-isterinya, dia berdosa dan akan menerima seksaan dari Allah (SWT) pada hari kiamat dengan tanda-tanda berjalan dalam keadaan pinggangnya miring. Hal ini akan disaksikan oleh seluruh umat manusia sejak Nabi Adam sampai ke anak cucunya.
Firman Allah (SWT) dalam Surah az-Zalzalah ayat 7 hingga 8;
"Maka sesiapa berbuat kebajikan seberat zarrah, nescaya akan dilihatnya (dalam surat amalnya)! Dan sesiapa berbuat kejahatan seberat zarrah, nescaya akan dilihatnya (dalam surat amalnya)."
6) Anak-anak juga mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan, pemeliharaan serta kasih sayang yang adil dari seorang ayah.
Oleh itu, disyaratkan agar setiap suami yang berpoligami tidak membeza-bezakan antara anak si anu dengan anak si anu. Berlaku adil dalam soal nafkah anak-anak mestilah diperhatikan bahawa nafkah anak yang masih kecil berbeza dengan anak yang sudah besar. Anak-anak perempuan berbeza pula dengan anak-anak lelaki. Tidak kira dari ibu yang mana, kesemuanya mereka berhak memiliki kasih sayang serta perhatian yang seksama dari bapa mereka. Jangan sampai mereka diterlantarkan kerana kecenderungan si bapa pada salah seorang isteri serta anak-anaknya sahaja.




8
Keadilan juga sangat dituntut oleh Islam agar dengan demikian si suami terpelihara dari sikap curang yang dapat merosakkan rumahtangganya. Seterusnya, diharapkan pula dapat memelihara dari terjadinya cerai-berai di antara anak-anak serta menghindarkan rasa dendam di antara sesama isteri.
Sesungguhnya kalau diperhatikan tuntutan syarak dalam hal menegakkan keadilan antara para isteri, nyatalah bahawa sukar sekali didapati orang yang sanggup menegakkan keadilan itu dengan sewajarnya.
Bersikap adil dalam hal-hal menzahirkan cinta dan kasih sayang terhadapisteri-isteri, adalah satu tanggungjawab yang sangat berat. Walau bagaimanapun, ia termasuk perkara yang berada dalam kemampuan manusia. Lain halnya dengan berlaku adil dalam soal kasih sayang, kecenderungan hati dan perkara-perkara yang manusia tidak berkesanggupan melakukannya, mengikut tabiat semulajadi manusia.
Hal ini sesuai dengan apa yang telah difirmankan Allah dalam Surah an-Nisak ayat 129 yang berbunyi;
"Dan kamu tidak sekali-kali akan sanggup berlaku adil di antara isteri-isteri kamu sekalipun kamu bersungguh-sungguh (hendak melakukannya); oleh itu janganlah kamu cenderung dengan melampau-lampau (berat sebelah kepada isteri yang kamu sayangi) sehingga kamu biarkan isteri yang lain seperti benda yang tergantung (di awang-awang)."
Selanjutnya Siti 'Aisyah (r.a.) menerangkan, maksudnya;
Bahawa Rasulullah (s.a.w.) selalu berlaku adil dalam mengadakan pembahagian antara isteri-isterinya. Dan beliau berkata dalam doanya: "Ya Allah, inilah kemampuanku membahagi apa yang ada dalam milikku. Ya Allah, janganlah aku dimarahi dalam membahagi apa yang menjadi milikku dan apa yang bukan milikku."



9
Menurut Prof. Dr. Syeikh Mahmoud Syaltout; "Keadilan yang dijadikan syarat diperbolehkan poligami berdasarkan ayat 3 Surah an-Nisak. Kemudian pada ayat 129 Surah an-Nisak pula menyatakan bahawa keadilan itu tidak mungkin dapat dipenuhi atau dilakukan. Sebenamya yang dimaksudkan oleh kedua ayat di atas ialah keadilan yang dikehendaki itu bukanlah keadilan yang menyempitkan dada kamu sehingga kamu merasakan keberatan yang sangat terhadap poligami yang dihalalkan oleh Allah. Hanya saja yang dikehendaki ialah jangan sampai kamu cenderung sepenuh-penuhnya kepada salah seorang sahaja di antara para isteri kamu itu, lalu kamu tinggalkan yang lain seperti tergantung-gantung."
Kemudian Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shidieqy pula menerangkan; "Orang yang boleh beristeri dua ialah yang percaya benar akan dirinya dapat berlaku adil, yang sedikit pun tidak akan ada keraguannya. Jika dia ragu, cukuplah seorang sahaja."
"Adil yang dimaksudkan di sini ialah 'kecondongan hati'. Dan ini tentu amat sulit untuk dilakukan, sehingga poligami adalah suatu hal yang sukar untuk dicapai. Jelasnya, poligami itu diperbolehkan secara darurat bagi orang yang benar-benar percaya dapat berlaku adil."
Selanjutnya beliau menegaskan, jangan sampai si suami membiarkan salah seorang isterinya terkatung-katung, digantung tak bertali. Hendaklah disingkirkan sikap condong kepada salah seorang isteri yang menyebabkan seorang lagi kecewa. Adapun condong yang dimaafkan hanyalah condong yang tidak dapat dilepaskan oleh setiap individu darinya, iaitu condong hati kepada salah seorangnya yang tidak membawa kepada mengurangkan hak yang seorang lagi.




10
Afif Ab. Fattah Tabbarah dalam bukunya Ruhuddinil Islami mengatakan; "Makna adil di dalam ayat tersebut ialah persamaan; yang dikehendaki ialah persamaan dalam hal pergaulan yang bersifat lahir seperti memberi nafkah, tempat tinggal, tempat tidur, dan layanan yang baik, juga dalam hal menunaikan tanggungjawab sebagai suami isteri."
d.  Tidak menimbulkan huru-hara di kalangan isteri mahupun anak-anak. Jadi, suami mesti yakin bahawa perkahwinannya yang baru ini tidak akan menjejaskan serta merosakkan kehidupan isteri serta anak-anaknya. Kerana, diperbolehkan poligami dalam Islam adalah untuk menjaga kepentingan semua pihak. Jika kepentingan ini tidak dapat dijaga dengan baik, maka seseorang yang berpoligami pada saat itu adalah berdosa.
e. Berkuasa menanggung nafkah. Yang dimaksudkan dengan nafkah di sini ialah nafkah zahir, sebagaimana Rasulullah (s.a.w.) bersabda yang bermaksud;
"Wahai sekalian pemuda, sesiapa di antara kamu yang berkuasa mengeluarkan nafkah, maka hendaklah kamu berkahwin. Dan sesiapa yang tidak berkuasa, hendaklah berpuasa."
Hadis di atas menunjukkan bahawa Rasulullah (s.a.w.) menyuruh setiap kaum lelaki supaya berkahwin tetapi dengan syarat sanggup mengeluarkan nafkah kepada isterinya. Andaikan mereka tidak berkemampuan, maka tidak digalakkan berkahwin walaupun dia seorang yang sihat zahir serta batinnya. Oleh itu, untuk menahan nafsu seksnya, dianjurkan agar berpuasa. Jadi, kalau seorang isteri saja sudah kepayahan untuk memberi nafkah, sudah tentulah Islam melarang orang yang demikian itu berpoligami. Memberi nafkah kepada isteri adalah wajib sebaik sahaja berlakunya suatu perkahwinan, ketika suami telah memiliki isteri secara mutlak. Begitu juga si isteri wajib mematuhi serta memberikan perkhidmatan yang diperlukan dalam pergaulan sehari-hari.


11
Kesimpulan dari maksud kemampuan secara zahir ialah;
i) Mampu memberi nafkah asas seperti pakaian dan makan minum.
ii) Mampu menyediakan tempat tinggal yang wajar.
iii) Mampu menyediakan kemudahan asas yang wajar seperti pendidikan dan sebagainya.
iv) Sihat tubuh badannya dan tidak berpenyakit yang boleh menyebabkan ia gagal memenuhi tuntutan nafkah zahir yang lain.
v) Mempunyai kemampuan dan keinginan seksual.
2.  Persyaratan dari UU perkawinan
Persyaratan dari Undang-undang perkawinan ini tidak sama sekali bertentangan dengan konstitusi dan ajaran islam. Mahkama Konstitusi (MK) menyatakan bahwa ketentuan yangtercantum dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan (UU Perkawinan) yang menyatakan asas perkawinan adalah monogami, dan poligami diperbolehkan dengan alasan, syarat, dan prosedur tertentu tidak bertentangan dengan ajaran islam dan hak untuk membetuk suatu keluarga, hak untuk bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, danhak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif sebagaimana diatur dalam UUD 1945.
Pasal-pasal dalam UU Perkawinan yang Dinyatakan Tidak Bertentangan dengan Konstitusi
Pasal 3
ayat (1) : "Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri, seorang isteri hanya boleh mempunyai seorang suami".
ayat (2): "Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang".

 12
Pasal 4:
ayat (1): "Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang maka wajib ia mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya".
ayat (2): "Pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang isteri;
b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 5
ayat (1): "Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. adanya persetujuan dari isteri/isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan¬keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka
Pasal 9: "Seorang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali hal yang tersebut dalam Pasal 3 Ayat (2) dan Pasal 4 undang-undang ini."
Pasal 15: "Barang siapa karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mencegah perkawinan yang baru.
Pasal 24: "Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru.



13
Mengenai adanya ketentuan yang mengatur tentang poligami untuk WNI yang hukum agamanya memperkenankan perkawinan poligami, hal ini menurut MK adalah wajar. Oleh karena sahnya suatu perkawinan menurut Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan apabila dilakukan sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Sebaliknya, akan menjadi tidak wajar jika UU Perkawinan mengatur poligami untuk mereka yang hukum agamanya tidak mengenal poligami. Jadi pengaturan yang berbeda ini bukan suatu bentuk diskriminasi, karena dalam pengaturan ini tidak ada yang dibedakan, melainkan mengatur sesuai degan apa yang dibutuhkan, sedangkan diskriminasi adalah memberikan perlakuan yang berbeda terhadap dua hal yang sama.

C.      HUKUM BERPOLIGAMI TANPA PERSETUJUAN ISTRI
Sidang Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) Jatim yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Putri Walisongo Cukir Jombang telah merumuskan atau telah menghasilkan sebuah rumusan yang berbunyi jikalau seorang suami ingin menikahi istri keduanya tanpa minta izin atau restu kepada istri pertama adalah dihukumi sah atau dapat diartikan bahwa diperbolehkan seorang suami berpoligami tanpa restu seorang istri.
Diperbolehkanya berpoligami tanpa minta izin pada istri pertama tersebut mengacu atau mengikuti pada madzhab Syafi’I, sedangkan menurut mazhab hambali terdapat dalam kitab Ar-Raudl wal Murabba’ sah dan tidak haram. Begitu pula dengan kitab Imam Hambali yang lainya seperti Al-Mughni dan lain sebagainya hukumnya bisa sah dan bisa haram, dengan alasan jika pada saat aqad nikah dengan istri pertama ada perjanjian untuk tidak berpoligami atau kebiasaan wanita setempat tidak ada kerelaan untuk berpoligami. Hanya saja jika dikaitkan dengan peraturan pemerintah republik Indonesia yang menyebutkan dan mengaruskan jika tidak minta izin atau restu dulu kepada istri pertama maka hukumnya adalah haram.

14
Sidang Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) juga merumuskan atau menghasilkan hukum tidak diperbolehkanya seorang istri minta cerai atau mengajukan cerai karena tidak mau dimadu, dengan alasan pengajuan cerai atau minta cerai itu jika sang suami tidak menafkahi sang istri atau sang istri memunyai aib ini menurut imam Syafi’I, sedangkan menurut Imam Hambali diperbolehkan istri mengajukan cerai karena sang istri dimadu dengan alasan ada persyaratan dalam aqad nikah atau menjadi kebiasaan wanita setempat, Sementara Menurut Imam Maliki pengajuan gugatan cerai itu diperbolehkan jika sang suami melakukan tindak kekerasan terhadap sang istri.
D.    FAKTOR SESEORANG BERPOLIGAMI
1.      Faktor Biologis
a.    Istri yang Sakit
Adanya seorang istri yang menderita suatu penyakit yang dapat menimbulkan tidak memungkinkan dia untuk melayani hasrat seksual suaminya. Maka bagi suami yang shaleh akan menentukan pilihan untuk berpoligami dari pada pergi ketempat mesum dan sejumlah wanita pelacur.
b.   Hasrat Seksual yang Tinggi
Sebagian ada pada diri kaum pria memiliki gairah dan hasrat seksual yang cukup tinggi dan menggebu, sehingga baginya satu istri dirasa tidak cukup untuk menyalurkan hasratnya tersebut.
c.    Rutinitas Alami Setiap Wanita
Adanya masa-masa haid, kehamilan dan melahirkan, menjadi alasan utama seorang wanita tidak dapat menjalankan salah satu kewajiban terhadap suaminya. Sehingga apabila suami yang berhasrat tinggi hendaklah memilih untuk berpoligami.
d.   Masa Subur kaum pria lebih Lama


15
2.      Faktor Internal Rumah Tangga
a.    Kemandulan
b.   Istri yang Lemah
c.    Kepribadian yang buruk
3.      Faktor Sosial
a.    Banyaknya Jumlah Wanita
Di Indonesia, pada PEMILU tahun 1999, jumlah pemilih pria hanya 48%, sedangkan pemilih wanita sebanyak 52%. Berarti dari jumlah 110 Juta jiwa pemilih tersebut, jumlah wanita adalah 57,2 juta orang dan Jumlah pria 52,8 juta orang. Padahal usia para pemilih itu merupakan usia siap nikah.
b.    Kesiapan Menikah dan Harapan Hidup pada Wanita
c.    Berkurangnya Jumlah Kaum Pria
d.   Lingkungan dan Tradisi
e.    Kemapanan Ekonomi
E.     DAMPAK NEGATIF POLIGAMI
1.      Dampak Negatif Poligami terhadap Kehidupan Keluarga
Dampak poligami terhadap kehidupan rumah tangga antara lain :
1.  Ketidakharmonisan hubungan anggota keluarga.
2.  Sering timbul permasalahan atau percek-cokan.
3.  Tidak adanya rasa saling pecaya.
4.  Tidak adanya kepedulian yang besar dari suami terhadap anak dan isteri.
5.  Kemungkinan dapat menyebabkan perceraian.
2.      Dampak Negatif Poligami terhadap Istri
Dampak psikologis: perasaan inferior istri dan menyalahkan diri karena merasa tindakan suaminya berpoligami adalah akibat dari ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan biologis suaminya.

16
Dampak ekonomi rumah tangga: Ketergantungan secara ekonomi kepada suami. Walaupun ada beberapa suami memang dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya, tetapi dalam prakteknya lebih sering ditemukan bahwa suami lebih mementingkan istri muda dan menelantarkan istri dan anak-anaknya terdahulu.. Akibatnya istri yang tidak memiliki pekerjaan akan sangat kesulitan menutupi kebutuhan sehari-hari.  Kekerasan terhadap perempuan, baik kekerasan fisik, ekonomi, seksual maupun psikologis. Hal ini umum terjadi pada rumah tangga poligami, walaupun begitu kekerasan juga terjadi pada rumah tangga yang monogami.
Dampak hukum: Seringnya terjadi nikah di bawah tangan (perkawinan yang tidak dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama), sehingga perkawinan dianggap tidak sah oleh negara, walaupun perkawinan tersebut sah menurut agama. Pihak perempuan akan dirugikan karena konsekwensinya suatu perkawinan dianggap tidak ada, seperti hak waris dan sebagainya.
Dampak kesehatan: Kebiasaan berganti-ganti pasangan menyebabkan suami/istri menjadi rentan terhadap penyakit menular seksual (PMS), bahkan rentan terjangkit virus HIV/AIDS.
3.      Dampak Negatif Poligami terhadap Anak
1.    Sang anak merasa tidak mendapatkan perhatian dari orang tuanya.
2.    Anak menjadi frustasi melihat keadaan orang tuanya.
3.    Anak mendapat tekanan mental.
4.    Adanya rasa benci kepada sang ayah.
5.    Dicemooh oleh teman-temannya.
6.    Anak tidak betah di rumah.
7.    Tidak menutup kemungkinan anak menjadi melakukan perbuatan yang tidak baik.
8.    Anak mengikuti pergaulan yang negative.


17
9.    Anak tidak semangat belajar.
10.  Anak menjadi beranggapan negative terhadap orang tua
F.     HIKMAH DIPERBOLEHKANNYA POLIGAMI
Mengenai hikmah dizinkan berpoligami(dalam keadaan darurat dengan syarat berlaku adil)antara lain adalah sebagai berikut:
1.   Untuk mendapat keturunan bagi suami yang subur dan istri yang mandul.
2.   Untuk menjaga keutuhan keluarga tampa menceraikan istri, sekalipun istri tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai istri,atau ia mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
3.   Untuk menyelamatkan suami dari yang hypersex dari perbuatan zina dan krisis ahklak lainnya.
4.   Untuk menyelamatkan kaum wanita dari krisis ahklak.


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan :
Pada dasarnya hukum Islam memiliki tujuan yang luar biasa atas poligami ini asalkan sang suami dapat menjalankan syarat-syarat yang telah ditentukan dan sesungguhnya kemuliaan lah yang terdapat pada sang suami jika beristri lebih dari satu (asalkan dalam syarat-syarat) karena ia telah membantu wanita dari berbagai faktor. Namun dalam kenyataan yang ada pada masyarakat masih banyak orang beranggapan negatif terhadap orang-orang yang beristri lebih dari satu/ berpoligami. Hal ini disebabkan karenah masalah poligami masih tabu dimasyarakat.
Saran :
Sebaiknya masyarakat tidak terlalu beranggapan negatif terhadap seseorang yang melakukan berpoligami karena ia pasti sudah memikirkan matang-matang dan memiliki alasan tertentu kenapa ia berpoligami. Selain itu bagi para suami hendaklah berseorang istri apabila ia tidak mampu menjalankan syarat berpoligami. Dan untuk para istri berlapanglah jika sang suami beristri dua dan telah mampu menjalankan syarat poligami. Sedang untuk wanita yang termasuk dalam “wanita perempuan lebih banyak dari laki-laki” maka hendaklah memilih 3 diantara ini.
1.  Menghabiskan seluruh masa hidupnya dengan menelan kenyataan pahit tidak mendapatkan jodoh.
2.  Melepaskan kendali, menjadi pemuas nafsu bagi laki-laki hidung belang yang diharamkan.
3.  Atau menikah dengan seorang laki-laki beristri yang mampu memberi nafkah dan berlaku baik.